Rabu, 23 Januari 2013

kisah Insyafnya cewek Tomboy

kisah Insyafnya cewek Tomboy

Ini cerita tentang adikku Nur Annisa , gadis yang baru beranjak dewasa namun rada Bengal dan tomboy. Pada saat umur adikku menginjak 17 tahun, perkembangan dari tingkah lakunya rada mengkhawatirkan ibuku , banyak teman cowoknya yang datang kerumah dan itu tidak mengenakkan ibuku sebagai seorang guru ngaji.


Untuk mengantisipasi hal itu ibuku menyuruh adikku memakai jilbab, namun selalu ditolaknya hingga timbul pertengkaran pertengkaran kecil diantara mereka. Pernah satu kali adikku berkata dengan suara yang rada keras: “Mama coba lihat deh , tetangga sebelah anaknya pakai jilbab namun kelakuannya ngga beda beda ama kita kita , malah teman teman Ani yang disekolah pake jilbab dibawa om om , sering jalan jalan , masih mending Ani, walaupun begini-gini ani nggak pernah ma kaya gituan ” , bila sudah seperti itu ibuku hanya mengelus dada, kadangkala di akhir malam kulihat ibuku menangis , lirih terdengar doanya: “Ya Allah , kenalkan Ani dengan hukum Engkau ya Allah “.

Pada satu hari didekat rumahku, ada tetangga baru yang baru pindah. Satu keluarga dimana mempunyai enam anak yang masih kecil kecil. Suaminya bernama Abu Khoiri ,(bukan Effendy Khoiri lhoo)(entah nama aslinya siapa) aku kenal dengannya waktu di masjid.

Setelah beberapa lama mereka pindah timbul desas desus mengenai istri dari Abu Khoiri yang tidak pernah keluar rumah , hingga dijuluki si buta , bisu dan tuli. Hal ini terdengar pula oleh Adikku , dan dia bertanya sama aku: “Kak , memang yang baru pindah itu istrinya buta , bisu dan tuli ? “..hus aku jawab sambil lalu” kalau kamu mau tau datangin aja langsung kerumahnya”.

Eehhh tuuh, anak benar benar datang kerumah tetangga baru. Sekembalinya dari rumah tetanggaku , kulihat perubahan yang drastis pada wajahnya, wajahnya yang biasa cerah nggak pernah muram atau lesu mejadi pucat pasi….entah apa yang terjadi.?

Namun tidak kusangka selang dua hari kemudian dia meminta pada ibuku untuk dibuatkan Jilbab ..yang panjang, lagi..rok panjang, lengan panjang…aku sendiri jadi bingung….aku tambah bingung campur syukur kepada Allah SWT karena kulihat perubahan yang ajaib..yah kubilang ajaib karena dia berubah total..tidak banyak lagi anak cowok yang datang kerumah atau teman teman wanitanya untuk sekedar bicara yang nggak karuan…kulihat dia banyak merenung, banyak baca baca majalah islam yang biasanya dia suka beli majalah anak muda kaya gadis atau femina ganti jadi majalah majalah islam , dan kulihat ibadahnya pun melebihi aku …tak ketinggalan tahajudnya, baca Qur’annya, sholat sunat nya…dan yang lebih menakjubkan lagi….bila teman ku datang dia menundukkan pandangan…Segala puji bagi Engkau ya Allah SWT jerit hatiku..

Tidak berapa lama aku dapat panggilan kerja di kalimantan, kerja di satu perusahaan asing (PMA). Dua bulan aku bekerja disana aku dapat kabar bahwa adikku sakit keras hingga ibuku memanggil ku untuk pulang ke rumah (rumahku di Madiun). Di pesawat tak henti hentinya aku berdoa kepada Allah SWT agar Adikku di beri kesembuhan, namun aku hanya berusaha, ketika aku tiba di rumah, didepan pintu sudah banyak orang, tak dapat kutahan aku lari masuk kedalam rumah, kulihat ibuku menangis, aku langsung menghampiri dan memeluk ibuku, sambil tersendat sendat ibuku bilang sama aku: “Dhi, adikkmu bisa ucapkan dua kalimat Syahadah diakhir hidupnya “..Tak dapat kutahan air mata ini…

Setelah selesai acara penguburan dan lainnya, iseng aku masuk kamar adikku dan kulihat Diary diatas mejanya..diary yang selalu dia tulis, Diary tempat dia menghabiskan waktunya sebelum tidur kala kulihat sewaktu almarhumah adikku masih hidup, kemudian kubuka selembar demi selembar…hingga tertuju pada satu halaman yang menguak misteri dan pertanyaan yang selalu timbul di hatiku..perubahan yang terjadi ketika adikku baru pulang dari rumah Abu Khoiri…disitu kulihat tanya jawab antara adikku dan istri dari tetanggaku, isinya seperti ini :

Tanya jawab ( kulihat dilembaran itu banyak bekas tetesan airmata ):

Annisa : Aku berguman (wajah wanita ini cerah dan bersinar layaknya bidadari), ibu, wajah ibu sangat muda dan cantik.

Istri tetanggaku : Alhamdulillah, sesungguhnya kecantikan itu datang dari lubuk hati.

Annisa : Tapi ibu kan udah punya anak enam, tapi masih kelihatan cantik.

Istri tetanggaku : Subhanallah, sesungguhnya keindahan itu milik Allah SWT dan bila Allah SWT berkehendak, siapakah yang bisa menolaknya.

Annisa : Ibu, selama ini aku selalu disuruh memakai jilbab oleh ibuku, namun aku selalu menolak karena aku pikir nggak masalah aku nggak pakai jilbab asal aku tidak macam macam dan kulihat banyak wanita memakai jilbab namun kelakuannya melebihi kami yang tidak memakai jilbab, hingga aku nggak pernah mau untuk pakai jilbab, menurut ibu bagaimana?

Istri tetanggaku : Duhai Annisa, sesungguhnya Allah SWT menjadikan seluruh tubuh wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki, segala sesuatu dari tubuh kita yang terlihat oleh bukan muhrim kita semuanya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT diakhirat nanti, jilbab adalah hijab untuk wanita.

Annisa : Tapi yang kulihat banyak wanita yang memakai jilbab yang kelakuannya nggak enak, nggak karuan.

Istri Tetanggaku : Jilbab hanyalah kain, namun hakekat atau arti dari jilbab itu sendiri yang harus kita pahami.

Annisa : Apa itu hakekat jilbab ?

Istri Tetanggaku : Hakekat jilbab adalah hijab lahir batin. Hijab mata kamu dari memandang lelaki yang bukan mahram kamu. Hijab lidah kamu dari berghibah (ghosib) dan kesia siaan, usahakan selalu berdzikir kepada Allah SWT. Hijab telinga kamu dari mendengar perkara yang mengundang mudharat baik untuk dirimu maupun masyarakat. Hijab hidungmu dari mencium cium segala yang berbau busuk. Hijab tangan-tangan kamu dari berbuat yang tidak senonoh. Hijab kaki kamu dari melangkah menuju maksiat.

Hijab pikiran kamu dari berpikir yang mengundang syetan untuk memperdayai nafsu kamu. Hijab hati kamu dari sesuatu selain Allah SWT, bila kamu sudah bisa maka jilbab yang kamu pakai akan menyinari hati kamu, itulah hakekat jilbab.

Annisa : Ibu aku jadi jelas sekarang dari arti jilbab, mudah mudahan aku bisa pakai jilbab, namun bagaimana aku bisa melaksanakan semuanya.

Istri tetanggaku : Duhai Anisa bila kamu memakai jilbab itulah karunia dan rahmat yang datang dari Allah SWT yang Maha Pemberi Rahmat, yang Maha Penyayang, bila kamu mensyukuri rahmat itu kamu akan diberi kekuatan untuk melaksanakan amalan amalan jilbab hingga mencapai kesempurnaan yang diinginkan Allah SWT.

Duhai Anisa, ingatlah akan satu hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya. Ketika ditiup terompet yang kedua kali, pada saat roh roh manusia seperti anai anai yang bertebaran dan dikumpulkan dalam satu padang yang tiada batas, yang tanahnya dari logam yang panas, tidak ada rumput maupun tumbuhan.

Ketika tujuh matahari didekatkan di atas kepala kita namun keadaan gelap gulita. Ketika seluruh Nabi ketakutan. Ketika ibu tidak memperdulikan anaknya, anak tidak memperdulikan ibunya, sanak saudara tidak kenal satu sama lain lagi, kadang satu sama lain bisa menjadi musuh, satu kebaikan lebih berharga dari segala sesuatu yang ada dialam ini.

Ketika manusia berbaris dengan barisan yang panjang dan masing masing hanya memperdulikan nasib dirinya, dan pada saat itu ada yang berkeringat karena rasa takut yang luar biasa hingga menenggelamkan dirinya, dan rupa rupa bentuk manusia bermacam macam tergantung dari amalannya, ada yang melihat ketika hidupnya namun buta ketika dibangkitkan, ada yang berbentuk seperti hewan, ada yang berbentuk seperti syetan, semuanya menangis, menangis karena hari itu Allah SWT murka, belum pernah Allah SWT murka sebelum dan sesudah hari itu, hingga ribuan tahun manusia didiamkan Allah SWT dipadang mahsyar yang panas membara hingga Timbangan Mizan digelar itulah hari Yaumul Hisab.

Duhai Annisa, bila kita tidak berusaha untuk beramal dihari ini, entah dengan apa nanti kita menjawab bila kita di sidang oleh Yang Maha Perkasa, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Allah SWT. Di Yaumul Hisab nanti! Di Hari Perhitungan nanti!!

Sampai disini aku baca diarynya karena kulihat, berhenti dan banyak tetesan airmata yang jatuh dari pelupuk matanya, Subhanallah, kubalik lembar berikutnya dan kulihat tulisan, kemudian kulihat tulisan kecil di bawahnya: buta, tuli dan bisu, wanita yang tidak pernah melihat lelaki selain muhrimnya, wanita yang tidak pernah mau mendengar perkara yang dapat mengundang murka Allah SWT, wanita yang tidak pernah berbicara ghibah, ghosib dan segala sesuatu yang mengundang dosa dan sia sia tak tahan airmata ini pun jatuh membasahi diary.

Itulah yang dapat saya baca dari diarynya, semoga Allah SWT menerima Adikku di sisinya, Amin , Subhanallah.

Bapak-Bapak, Ibu-ibu, Saudara-Saudaraku, adik-adikku dan Anak-anakku yang dimuliakan oleh Allah SWT. Khususnya kaum hawa. Saya mengharap kisah nyata ini bisa menjadi iktibar, menjadi pelajaran bagi kita , bagi putri-putri kita semua. Semoga meresap dihati yang membacanya dan semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk, memberi Rahmat, hidayah bagi yang membaca dan menghayatinya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan iman kita untuk menjalankan (memenuhi) segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa-apa yang dilarang-Nya, dan mendapat derajat takwa yang tinggi, selamat didunia sampai di akhirat nanti, mendapat pertolongan dan syafa’at di hari yaumul hisab dan mendapat surga yang tinggi, amien. Wallaahu a’lam bish shawab, billaahi taufik wal hidayah. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

sumber: http://ukimedia.wordpress.com/

Malam Pesta Seorang Pengantin Wanita

Malam Pesta Seorang Pengantin Wanita

Bismillahirr Rahmanirr Rahim …
Kisah nyata yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Ahmad ini terjadi di Abha, ibu kota Provinsi Asir Arab Saudi.
“Setelah melaksanakan shalat Maghrib dia berhias, menggunakan gaun pengantin putih yang indah, mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya. Lalu dia mendengar azan Isya, dan dia sadar kalau wudhunya telah batal.
Dia berkata pada ibunya : “Bu, saya mau berwudhu dan shalat Isya.”
Ibunya terkejut : “Apa kamu sudah gila? Tamu telah menunggumu untuk melihatmu, bagaimana dengan make-up mu? Semuanya akan terbasuh oleh air.”
Lalu ibunya menambahkan : “Aku ibumu, dan ibu katakan jangan shalat sekarang! Demi Allah, jika kamu berwudhu sekarang, ibu akan marah kepadamu”
Anaknya menjawab : “Demi Allah, saya tidak akan pergi dari ruangan ini, hingga saya shalat. Ibu, ibu harus tahu “bahwa tidak ada kepatuhan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta”!!
Ibunya berkata : “ Apa yang akan dikatakan tamu-tamu kita tentang mu, ketika kamu tampil dalam pesta pernikahanmu tanpa make-up?? Kamu tidak akan terlihat cantik dimata mereka! dan mereka akan mengolok-olok dirimu !
Anak nya berkata dengan tersenyum : “Apakah ibu takut karena saya tidak akan terrlihat cantik di mata makhluk? Bagaimana dengan Penciptaku? Yang saya takuti adalah jika dengan sebab kehilangan shalat, saya tidak akan tampak cantik dimata-Nya”.
Lalu dia berwudhu, dan seluruh make-up nya terbasuh. Tapi dia tidak merasa bermasalah dengan itu.
Lalu dia memulai shalatnya. Dan pada saat itu dia bersujud, dia tidak menyadari itu, bahwa itu akan menjadi sujud terakhirnya.
Pengantin wanita itu wafat dengan cara yang indah, bersujud di hadapan Pencipta-Nya.
Ya, ia wafat dalam keadaan bersujud. Betapa akhir yang luar biasa bagi seorang muslimah yang teguh untuk mematuhi Tuhannya!
Banyak orang tersentuh mendengarkan kisah ini. Ia telah menjadikan Allah dan ketaatan kepada-Nya sebagai prioritas pertama.
“SUBHANALLAH”
SUMBER: www.kisahislami.com

Cerpen Kisah Sebuah Pernikahan

Cerpen Kisah Sebuah Pernikahan


Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya

saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan

justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada

satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.

Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.

Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama

'buntelan karung hitam' itu ....?!?"

Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon

istriku disebut 'buntelan karung hitam'.

"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam,

gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih

tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.

"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan

Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa

menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung

mendengar ucapanku.

"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.

baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan

seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan

itu ke rumah ini !!"

DEGG !!!!

"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran

Ismail membuyarkan lamunanku.

Segera kuucapkan istighfar dalam hati.

"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi

Ismail memberi semangat padaku.

"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas

kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku

mengucapkan aqad nikah.

"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.

Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."

Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.

Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah

sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati

kuberanikan diri untuk menyapanya.

"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan

De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan

dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam

pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an

tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. "Nanti saja

dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang

berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat

dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku

suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.

Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak

menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.

Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.

"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti

ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal

beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak

untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam

malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.

Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam

Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ...

Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian

bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak

menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang

banyak."

(QS An-Nisa:19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata

itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita

yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama

besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.

"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan

kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan

menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."

Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam

dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih

menyisakan segumpal ragu.

"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya

siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.

"Tidak...De'.

Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.

Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika

seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil

menggenggam erat tangannya.

Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait

do'a kubentangkan pada Nya.

"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan

cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang

cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini

akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.

Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"

Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap

raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku

benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah

sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.

Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum

sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah

tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka

mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya

pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)

=========================================

Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini

hina maka muliakanlah aku

dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih
sumber: http://cerpenislami.blogspot.com/

Kisah Penggugah Hati

Kisah Penggugah Hati

Azizah Ibunda Meila, Mahasiswi yang Wafat di Tengah Semangatnya Berdakwah : “Surat Wasiatnya Ditemukan Beberapa Jam Pasca Kecelakaan Maut” “Sewaktu membuka penutup jenazah, saya merasa ada wangi tertentu, namun saya tidak tahu itu wangi apa.”

Rofiqo Meila sari, anak saya yang ketiga dari lima bersaudara, lahir tanggal 18 Mei 1987. Pada anak-anak saya itu, saya menyimpan harapan yang sama, yakni mereka mencapai pemahaman agama yang baik dan meningkat terus. Pada anak-anak, saya lebih banyak mencontohkan untuk dekat pada agama melalui perbuatan sehari-hari. Misalnya, dengan melihat orang tuanya shalat malam, shalat dhuha dan puasa sunah, anak-anak pun akan ingin melakukannya, setelah mengetahui kebaikan di balik ibadah-ibadah itu. Tapi ternyata yang paling kelihatan amat dekat dengan agama adalah Meila, dialah yang rajin dan konsisten melakukan shalat malam, shalat dhuha, puasa Nabi Daud, puasa sunah Senin dan Kamis dan lainnya. Di bulan Ramadhan terutama Ramadhan lalu, dia jarang berada di rumah karena I’tikaf di masjid. Saat saya tanyakan, mengapa sampai demikian giat beri’tikaf, dia menjawab bahwa dia ingin memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan beribadah di bulan yang penuh keberkahan itu, apalagi kesempatan untuk beribadah di bulan itu akan datang lagi atau tidak, kita kan tidak tahu.

Banyak kebaikan dan keunikan Meila yang saya rasakan. Dengan cara yang lembut, sambil meminta maaf, menasehati saya. Dan saya memperlihatkan pendapat-pendapatnya, karena saya melihat kepribadian yang cukup matang dan bertanggung-jawab. Terhadap saudara-saudaranya Meila juga perhatian. Bagi kami, Meila adalah pelita keluarga (terdiam).

Saya bahagia dan hati saya tenang, karena meski dia masih muda, namun saya bisa mempercayainya. Hingga saya yang lebih banyak berpesan dan mewanti-wanti pada adik-adiknya. Kalau adiknya meminta ijin mendatangi suatu tempat, saya banyak berpesan, jangan pulang terlambat, jangan main dulu setelah acara selesai. Kalau dengan Meila, saya tidak melakukan itu saya mempercayainya dan yakin dengan apa-apa yang dia lakukan. Saya mengetahui kepribadian dan akhlaknya sehari-hari.

Ketika membaca buku harian Meila setelah kepergiannya, saya terenyuh. Di buku itu dia mempertanyakan “perbedaan” perlakuan itu. Dia menulis mengapa kalau adiknya pergi selalu dikomentari, sedangkan dia tidak. Rupanya dia mempunyai perasaan lain yang dia tuangkan dalam buku itu. Saya sedih saat membacanya. Saya menangis. Ya Allah tidak ada maksud seperti itu. Saya berdo’a, “Meila, maafkan Mama kalau kamu mempunyai perasaan itu. Tapi itu karena Mama sangat percaya pada Meila.” Meila itu remaja yang gemar sekali dengan kegiatan dakwah. Mushalla di samping rumah kami (mushalla yang didirikan oleh keluarga) dia juga yang meramaikan. Tiap malam Jum’at ia mengajak anak-anak muda untuk pengajian. Bersama teman-temannya, dia mengadakan kursus cara memandikan jenazah, pengobatan gratis dan lainnya. Dua tahun lalu, di mushalla itu dia membuka TPA untuk anak balita.

Meski di kampusnya (Meila kuliah di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah) dia sibuk ikut Lembaga Dakwah Kampus dan kerap mengadakan kegiatan, tapi untuk TPA itu dia juga terjun total (TPA itu menampung 30-an anak). Saya sempat khawatir dan bertanya apa dia tidak terlalu lelah. Tapi dia bilang bahwa anak-anak inilah nantinya yang jadi generasi penerus, dan karena mereka masih sangat muda, masih seperti kertas putih, justru mereka lah yang sangat perlu diperhatikan. Terhadap anak kecil, dia memang sayang sekali. Terhadap adiknya, keponakan, anak-anak tetangga, dia perhatian sekali. Terhadap adik-adik tirinya (Azizah menikah kembali tahun 2007, setelah suaminya wafat enam tahun lalu), dia sering menyakan, sudah membuat peer belum, sudah belajar belum dan lainnya. Kalau pulang kuliah atau pulang dari berbagai kegiatan lain, dia selalu menanyakan adik-adik tirinya. Pada adiknya yang sudah remaja, dia sering menasehati, termasuk menasehati adiknya untuk berjilbab. Ketika adiknya kemudian berjilbab, saya menanyakan sebabnya. Selain karena dorongan hati, juga karena ingin mencontoh kakaknya. Kini adiknya dan seorang teman Meila yang meneruskan mengajar di TPA (tiap hari, sebelum memulai mengajar di TPA pasca kepergian Meila, adiknya mengajak murid-murid untuk berdoa bagi Meila).

Memang di pagi hari saat kepergiannya (Rabu, 14 Mei 2008), sebelum berangkat Meila mengatakan pada adik dan kakakanya di rumah, “Kalau Meila tidak pulang, tolong TPA diteruskan, jangan sampai berhenti ya kegiatannya.” Saudaranya menduga, maksudnya akan menginap karena sedang sibuk menyiapkan suatu acara. Ternyata dia benar-benar tidak akan pulang (terdiam). Saat Meila berangkat di hari terakhir itu, saya sudah lebih dulu pergi ke sekolah (Azizah mengajar agama di salah satu SD Negeri di Pondok Pinang). Sedangkan Meila biasanya berangkat setelah shalat dhuha dulu di rumah. Sebelum shubuh, salah seorang saudaranya melihat Meila makan sahur. Dugaan saya, hari itu dia sedang berpuasa nabi Daud.

Kabar yang saya dengar, hari Rabu (14 Mei 2008) itu, dengan diboncengkan motor oleh teman perempuannya, Meila membawa proposal untuk pencarian dana acara dakwah di kampus hingga ke kawasan Depok. Tapi saya juga mendengar kabar lain, bahwa dia ke Depok untuk mengajukan lamaran menjadi asisten dosen di Universitas Indonesia. Pagi jam sepuluh itu, motor yang ditumpangi meila terserempet mobil yang datang dari arah berlawanan. Akibatnya meila terpental hingga masuk ke bawah mobil (terdiam). Ketika ditemukan, dia sudah meninggal di tempat (terdiam). Sedangkan temannya mengalami luka-luka, dan bersama jenazah Meila, segera dilarikan ke rumah sakit di Depok. Saat mendengar kabar kecelakaan itu, saya tidak diberitahu bahwa Meila sudah meninggal. Ketika menuju rumah sakit, saya berujar pada adik saya yang menyetir mobil, cepat, cepat, saya mau melihat anak saya (terdiam). Tiba di rumah sakit, saya melihat tubuh Meila ditutup kain semuanya, dari kepala sampai kakinya. Saya hanya bisa berdzikir, saya mengucapkan innalillaahi wainna ilaihi raaji’uun, saya mengingatkan diri saya, bahwa Allah lebih sayang pada anak saya. Saya sangat sayang pada Meila, tapi Allah lebih sayang padanya. Saya harus ikhlas (terdiam). Itulah yang menguatkan saya. Kalau tidak banyak mengingat Allah, entah apa jadinya (terdiam). Saat membuka kain yang menutupi wajahnya, subhanallah, saya melihat matanya tertutup rapat dan wajahnya menghadap ke kanan. Ketika saya memperhatikan tubuhnya, subhanallah, tidak ada darah sama sekali. Jenazah itu bersih.

Saya hampir tidak percaya melihatnya, tapi itulah yang terjadi. Ada luka dikakinya yang membuat tulangnya tampak, namun tetap tidak mengeluarkan darah. Polisi lalu lintas yang membawa jenazah Meila juga berujar, baru saat itulah ia menemukan jenazah korban kecelakaan lalu lintas yang tidak ada darah sama sekali di tubuhnya (terdiam). Sewaktu membuka penutup jenazah, saya merasa ada wangi tertentu, namun saya tidak tahu itu wangi apa (Seorang teman Meila menuliskan dalam catatan kenangan tentang Meila. Menurutnya, di saat kecelakaan terjadi, dalam ruangan kelas tempat Meila biasa melakukan kegiatan, tercium wangi yang tidak dikenali oleh seorangpun di ruangan itu). Banyak kemudahan dalam proses itu. Bahkan polisi yang bertugas saat kecelakaan terjadi, di luar dugaan, adalah tetangga yang memang berprofesi sebagai polisi. Ketika kecelakaan terjadi dan ia mencari tanda keterangan diri dalam tas Meila, ia kaget saat membaca alamat Meila. Sehingga kabar pada keluarga pun lebih cepat sampai. Dan polisi itulah yang terus membantu kami, mulai dari pemulangan jenazah Meila dari rumah sakit hingga hal-hal lainnya.

Kemudian juga terjadi ketika akan memakamkan almarhumah. Saat itu kami diberitahu bahwa tanah perkuburan didaerah Gandaria adalah tanah yang keras, yang tidak mudah untuk digali. Tiga orang penggali kuburnya mengatakan, makam yang digali sore hari itu, diperkirakan baru akan selesai jam sebelas malam atau lebih, karena kondisi tanahnya. Akhirnya kami memutuskan untuk memakamkan almarhumah esok paginya saja. Namun jam tujuh malam, tiba-tiba kami ditelepon. Kata pihak TPU, terjadi keanehan, karena tidak seperti biasanya tanah di sana terasa gembur saat digali. Jadi penggalian itu jam tujuh malam sudah selesai. Kami merasa itu suatu kemudahan yang Allah berikan.

Tanpa kami ketahui, pada tanggal 1 April 2008 Meila ternyata menuliskan wasiat di selembar kertas yang disimpan dalam dompetnya. Di malam hari setelah kecelakaan terjadi barulah pamannya menemukan surat itu, ketika melihat satu persatu isi tas Meila. Dalam dompetnya, selain foto almarhum nenek dan ayahnya, juga ditemukan surat itu.

(Dalam surat wasiat itu tertulis, “Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Bismillaahirrahmanirrahim. Jakarta, 1 April 2008/24 Rabiul Awwal 1428H. saya yang bernama Rofiqo Meila Sari berWASIAT.

Saya ingin merenovasi kuburan Bapak Nurhasan, ayahanda tercintaku dengan bunga dan rumput. Serta aku ingin buatkan kaligrafi yang kubuat sendiri.
Meramaikan musholla dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat.
Barang-barang Meila seperti buku-buku, baju, sepatu, tas, dll yang masih layak pakai untuk diberikan kepada sanak saudara yang membutuhkan (khususnya yang sudah yatim piatu dan fakir miskin), baru untuk orang lain.
Organ-organ atau jasadiyah Meila yang masih/dapat digunakan untuk orang lain yang membutuhkan tetapi harus seorang hamba Allah yang beriman lagi taat.
Kalau seandainya bisa, saya ingin dimakamkan disebelah makam ayahandaku.
Jika saya memiliki harta lebih 50%-nya untuk pembangunan masjid, kegiatan-kegiatan dakwah, santunan yatim piatu, atau lainnya yang dapat membawa kemaslahatan ummat.
Untuk saudara/saudariku tolong sayangi Mama dan saling sayang-menyayangi, komunikatif, watashaubil haq watawashaubishabr.
Tolong kirimkan do’a terbaikmu untukku yang telah dahulu.
Salam Cinta. Rofiqo Meila Sari.”)

Membaca surat wasiat itu, kami terkesima, subhanallah, dia tentu tidak mengetahui bahwa sebulan kemudian akan mengalami kejadian itu (terdiam). Namun atas kuasa Allah, dia terdorong untuk menuliskannya. Surat itu juga menunjukkan sifat Meila yang lain, bahwa dia seorang pemaaf. Karena menggunakan kata ‘kalau seandainya bisa’. Nampak bahwa dia tidak ingin “memaksakan” keinginannya. Kami berusaha untuk memenuhi apa yang tertulis dalam surat itu, Sebagian besar insya Allah dapat dipenuhi. Namun tidak semuanya dapat terpenuhi. Karena surat itu ditemukan di malam hari, sudah sekian jam dari peristiwa itu terjadi, maka keinginan untuk mendonorkan organ tubuh sudah tidak bisa dilakukan (terdiam).

Seorang kerabat mengatakan bahwa organ mata masih dapat didonorkan meski telah berjam-jam kemudian. Namun ternyata kami kesulitan untuk memenuhi syarat ‘harus seorang yang beriman lagi taat.’ Kami khawatir syarat itu tidak terpenuhi, maka kami akhirnya memutuskan tidak melakukan pula hal itu, Saya terharu sekali dia berpesan pada adik dan kakaknya untuk menyayangi saya.

Memang sehari-harinya dia sangat sayang pada saya. Segala sesuatunya untuk ibunya (menangis). Ibaratnya tidak apa-apa dia susah, asalkan ibunya bahagia (menangis). Dia kelihatannya ingin sekali berbakti sama ibunya (menangis). Sampai mengajar privat diberbagai tempat, dan seluruh pendapatannya diberikan kepada saya. Kalau saya menolak dan mengatakan uang itu dipakai saja untuk ongkosnya sehari-hari, dia tidak mau. Dia bilang ingin memberikan uang itu pada saya. Karena tidak tega untuk menolaknya, maka saya terima. Dan tiap hari tetap saya berikan uang untuk transportnya. Begitu inginnya dia memberikan ibunya uang, meski dia sendiri tidak punya uang untuk transport.

Beberapa hari sebelum kejadian itu, di malam Minggu (10 Mei 2008), Meila bilang pada saya, “Ma, maafin Meila ya, Meila pengen ngomong …. Bulan depan mama tidak perlu lagi memberikan Meila uang jajan. Tapi Meila juga tidak bisa memberikan uang sama Mama. Tapi rejeki insyaAllah akan berkah Ma.” Setelah itu dia mencium tangan saya. Saat itu saya menduga dia sudah ada pemasukkan tambahan lainnnya, dan sudah dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Saya menangis terharu, karena anak saya mempunyai pemikiran ini meringankan orang tuanya. Saya berpikir, mungkin karena adiknya yang di pesantren akan masuk Madrasah Aliyah dan perlu biaya tambahan, maka dia berusaha mencari tambahan pemasukan. Saya berkata bahwa saya yang akan mendo’akannya (terdiam). Dia menjawab, “Iya Ma, doakan Meila ya …”. Setelah itu dia kembali meminta maaf (terdiam).

Itulah kali terakhir saya berbicara lama dengannya. Sebagai orang tua, saya merasa kepatuhan, perhatian dan rasa sayang Meila pada saya sangat istimewa. Kalau saya lelah, Meila langsung mengambilkan minum dan memijat kaki. Kalau saya belum makan, dia bahkan menawarkan untuk menyuapi saya makan (terdiam). Dia terus membujuk sampai saya mau makan, karena kalau sudah lelah, saya kadang lupa untuk makan. Karena tidak ingin dia kecewa, kadang saya yang mau disusupi, dan setelah itu giliran saya yang menyuapi dia makan (terdiam). Meila juga senang sekali mengerjakan pekerjaan di rumah. Memasak, membersihkan rumah, merapihkan taman, sampai membersihkan selokan depan rumah.

Beberapa hari sebelum kepergiannya, dia masih membersihkan selokan (terdiam). Meski capek sepulang kuliah, tapi kalau akan mencuci baju, dia selalu mencucikan baju-baju lainnya yang ada di ember. Meski sebenarnya adik dan kakaknya mencuci sendiri baju masing-masing, tapi kalau Meila akan mencuci, maka baju siapa pun akan dia cucikan. Kalau saya katakan jangan dicucikan semua, dia cuman bilang, tidak apa-apa Ma, kan sekalian mencuci baju Meila.

Ternyata kebaikannya juga dirasakan oleh lingkungannya. Sungguh saya tidak menduga, saat membawa jenazah Meila pulang, sejak di ujung jalan, orang-orang sudah penuh sesak (terdiam). Semua menangisi kepergian dia. Saya sangat terharu (terdiam). Di rumah, tamu-tamu yang bertakziah, teman-teman kuliahnya, teman-teman sekolahnya, teman sesama penggiat dakwah, guru-gurunya, berdatangan terus, hingga rumah dan jalan penuh sesak. Kata kerabat saya yang datang hingga ribuan (terdiam). Guru-gurunya juga meminta dengan sangat untuk ikut memandikan jenazah. Saat itulah saya mengetahui, betapa banyak yang menyayangi dia (terdiam, suara bergetar). Ternyata bukan di rumah saja Meila bersikap sangat baik pada saya dan keluarga, dan bersemangat kalo untuk persoalan dakwah di lingkungan, tapi juga di kampus dan tempat-tempat lain.

Selain mengajar privat ilmu alam, dia juga memberikan les privat agama. Seorang dosennya bercerita pada saya, sehari sebelum kecelakaan itu, Meila mengajak teman-temannya berkumpul dan menasehati mereka. Saya ingat saya pernah menanyakan mengapa dia aktif sekali di LDK. Saya khawatir ia terlalu lelah dan jatuh sakit. Namun Meila menjawabnya di kampusnya, meski berpredikat universitas islam, namun suasananya tidak jauh berbeda dengan kampus lainnya dalam hal keagamaannya. Hingga dakwah dikampus sangat diperlukan. Dan kalau tidak mengajak berdakwah, bagaimana nanti tanggung jawab di akhirat ?

Beberapa hari setelah kepergiannya, saya menemukan buku hariannya. Di dalamnya saya membaca janji yang ia buat tiga tahun yang lalu.

(Di buku itu tertulis, Bissmillahhirohmaanirrohim.

Mengajak untuk mengingat Allah swt.
Mengajak untuk mengingat dosa-dosa.
Mengajak (untuk menyayangi) orang tua.
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah
Taubat.
Dear diary, tahu nggak ini adalah salah satu konsep yang aku buat pada malam Minggu kemarin, 30 April ’05 untuk muhasabah. Uh…uh…bagaimana ya …aku juga sebenarnya takut karena aku sendiri aja takut nggak bisa menjalankan apa yang aku sudah katakan. Tapi kita tidak boleh menghakimi diri kita ”tidak bisa”karena pada dasarnya manusia itu bisa melakukan apa saja. Mudah-mudahan aku bisa menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah di dalam kehidupanku sehari-hari. Amien ya…rabbal…alamin…

Maka dari itu aku bernama Rofiqo Meila Sari, asyhaduallaailaahaillah wa asyhaduanna muhammadarrasulullah, aku berjanji :

Taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Taat pada orang tua dan guru.
Rajin belajar dan giat beramal.
Cinta alam dan kasih sayang kepada manusia.
Akan selalu menjalankan janji ini.
Amien ya Rabbal alamin. Mudah-mudahan Meila bisa menggapai cita-cita Meila, dan dapat membahagiakan orang-orang di sekitarku. Allahu Akbar: Jakarta 2-Mei-2005”).

Sepertinya, memang di sekitar waktu itulah terasa Meila menjadi semakin baik. Kemungkinan dia harus melakukan apa yang dia tekadkan. Dalam akhlak sehari-harinya hal itu kemudian sangat nampak. Taqorubnya pada Allah juga sangat mengikat. Kalau sebelumnya dia beribadah belum serajin itu, saya merasa di sekitar waktu itulah dia melakukan perubahan mendalam (terdiam). Di buku harian itu dia juga menuliskan bahwa dia tidak mau berpacaran. Dia inginnya ta’aruf yang dibenarkan agama. Namun sejak sekitar bulan April, Meila beberapa kali mengatakan pada tantenya bahwa ia ingin menikah di bulan Mei. Pada murid-muridnya yang sering menanyakan kapan dia akan menikah, Meila juga menjawab insyaAllah di bulan Mei. Pada teman-temannya dia juga mengatakan seperti itu. Ternyata di bulan Mei, yang terjadi adalah kepergian (terdiam). Namun apa rahasia dibalik itu, hanya Allah yang Maha Tahu.

Mengingat kepargian Meila, saya juga teringat bagaimana ayahnya berpulang enam tahun lalu. Sekitar 40 hari sebelum wafat, ayahnya mengatakan pada saya, bahwa dia berharap akan wafat saat sedang shalat atau saat membaca Al-Qur’an. Dia juga mengatakan ingin dimakamkan di mana. Dan juga berpesan berbagai hal pada saya selaku isterinya. Namun saat itu saya tidak menduga bahwa sekitar 40 hari setelah itu dia ternyata berpulang. Ramadhan terakhir dalam hidupnya, ayah Meila mengabdi sebulan penuh di mushola.

Di hari Jum’at sehari sebelum wafat, bersama saya, dia menjenguk anak kami yang di pesantren. Esoknya, saat shalat shubuh di mushala, dia berujar pada temannya untuk menggantikannya menjadi imam. Temannya menolak dan mengatakan merasa malu menjadii iman (karena ada orang lain yang dirasa lebih mampui). Namun suami memaksa dan mengatakan, kamu harus jadi imam, supaya ada yang menggantikan kalau saya tidak ada. Akhirnya temannya itu mau menjadi imam. Saat rakaat pertama shalat shubuh itu, ketika tiba pada ayat waladhaalin, dan makmun mengucapkan amin, suami saya jatuh tersungkur. Ia meninggal saat itu juga. Tanpa sakit apapun sebelumnya. Saya Kaget sekali. Dan sangat sedih. Namun saya menyimpan keharuan dan harapan, semoga kepergian yang seperti itu, insya Allah dia mencapai khusnul khatimah. Harapan yang sama kini saya do’akan untuk Meila anak saya (terdiam). Saya juga berharap, nasehat-nasehatnya dapat saya amalkan. Ketika saya merasa beban hidup demikian berat, ketika merasa berbuat baik namun mendapat tanggapan yang kurang baik dari orang lain, Meila biasanya bilang pada saya bahwa Allah memberikan cobaan untuk orang kuat. Kalau orang yang tidak kuat, tidak akan diberikan cobaan seperti itu. Dia bilang, “Insya Allah Mama kuat. ” Kata-kata itu selalu terngiang di hati saya. Membuat saya tergugah bahwa Allah memberikan cobaan pada saya, karena insya Allah saya kuat. Meski kesedihan datang, namun selalu timbul kekuatan di balik itu, kalau semuanya dikembalikan pada Allah.

Sekitar satu minggu sebelum kepergian Meila, entah mengapa saya merasa sedih dan gelisah. Saat itu Meila menanyakan, “Mama ada apa, Kok Mamah sedih. Mama yang sabar ya Ma, orang sabar disayang Allah…. Nanti mamah akan merasakan manisnya kesabaran….” Mudah-mudahan Allah mengaruniakan jannah untuk Meila. Dan dia dapat menjadi contoh, untuk membawa keluarga mengikuti jejaknya. Bahwa Meila yang masih muda mau berusaha seperti itu, mengapa kita tidak.

(Seperti dituturkan Azizah, Ibunda almarhumah Meila, di Rumahnya di Pondok Pinang, Ciputat Raya. (majalah_tarbawi)

AKU INGIN BERJILBAB SEPERTI KAKAK

AKU INGIN BERJILBAB SEPERTI KAKAK

Ada segores pedih saat ku ukir namamu dik…, Perih. Seakan ribuan belati menusuk ke hati, meninggalkan gumpalan sedih di lubang rasaku.. Penyesalan yang tak berujung, yang membuatku merutuki diri ini yang begitu ego diri. Allah…, Ampuni aku.. Adik, maafkan kakak….

Aku mengenalmu pertama kali ketika kami masih berpakaian putih abu-abu, dan berlanjurt di tingkat kuliah. Aku masih teringat sinar matamu saat aku memasuki kelasmu, dan kamu mengajak kami dan teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian di sela waktu luang dalam sebuah majlis ilmu. Kajian jum’at, yang rutin ku jalankan bersama teman-teman akhwatku di rohis.

Sayangnya, sepertinya teman-temanmu tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan bergosip dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu berbeda. Kamu terlihat istimewa. Kamu datang, dengan wajah penuh riang. Dik, sampai sekarang aku masih ingat senyuman yang tak penah lepas dari wajahmu. 

Senyuman yang dapat menghilangkan segala penat dan lelahku karena tugas-tugas yang menumpuk, program kerja di rohis yang begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan yang begitu melelahkan. Tapi kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan kami kakak-kakakmu untuk tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.

Kamu semakin dekat pada kami, kamu begitu mudah menyerap segala pengetahuan yang kami berikan kepadamu. Kamu cerdas dik. Mungkin karena belajar dengan hati, kamu begitu mudah menerima kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu begitu lembut dengan kebenaran… Allahu akbar, aku malu dik saat menyadari betapa banyak kesombongan di hati ini, tak seperti kau yang sangat bersahaja.

Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan kepada kami. Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap di sela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:

“Kak, jangan bilang sama kak iva yah, aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan wajah penuh rahasia. Aku tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah licik. Ha ha ha ( mb.iva mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu ini. 

Tapi ternyata aku salah, kau melakukan hal yang sama pada mb.iva juga. Kami tertipu, tetapi kami tetap senang. Begitulah caramu membuat kami merasa begitu kamu cintai. Allah, begitu banyaknya dia mengajari kami.Hari itu kamu mendatangiku, dengan wajah penuh semangat lebih dari biasanya. Kamu bertanya kepadaku:

“Kak, aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar ! aku menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.

Beberapa hari kemudian kamu datang dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang dengan perubahanmu, bahkan mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini ragu dengan pilihanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah sebaik-baik penolong. Tak ka nada yang bisa menyakitimu dalam lindungan-Nya. Kamu menangis.

Kemudian aku mengajakmu ke mushola. Kita shalat dhuha, dan selesai shalat kamu berkata mantap, “Aku mantap untuk memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau penguasa hati makhluk-Mu…

Keesokan harinya, kamu dengan jilbab lebarmu, dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku memeluk dan menciummu dengan penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang besemu merah, semua akhwat memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti, semoga kamu terjaga dalam busana syar’i ini.

Kamu pun smakin dekat padaku, sangat perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku kamu tak datang menjengukku setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau dalam kondisi sangat lelah.. Dik, kakak sangat bangga padamu.. Kamu semakin aktif, semua amanah yang diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh semangat. Bahkan, rasanya tanpa kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat sayang padamu dik.

Tak terasa 2 tahun kebersamaan kita…. Aku lulus, dan harus meninggalkan kampus kita tercinta, meninggalkan rohis MPM KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah Kerukunan Remaja Mushallah Aliyah) yang kami rintis dari awal dengan penuh perjuangan, akhwat-akhwatku, adik-adik mentorku, perjuangan kami. Aku harus meninggalkan mereka semua.

Termasuk kamu dik. Kamu menangis, kamu meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah, kami berjanji akan lebih sering mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu dan yang lain. Tapi, ternyata….

Semua hanya janji, kami masuk dalam lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk, terlebih aku mengambil fakultas paling sibuk di antara semua fakultas yang ada… Aku tak menepati janji, aku ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…

Aku melupakanmu, aku mulai sibuk di lembaga dakwah kampusku, yang juga meminta perhatian yang sangat besar. Kuliah-kuliahku, lab-labku yang membuatku tak punya waktu untuk yang lain, termasuk padamu. Aku mulai melupakanmu, tapi kamu sering sekali menelponku.

Yah…telpon-telponmu dik.. .Allah, jika mengingat ini, sungguh penyesalanku seakan tak ada habisnya. Kamu begitu sering menelponku, menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang keluargamu yang semakin menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu, tentang tidak adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.

Bahkan terkadang, kamu meneleponku sampai dua jam. Dan aku yang begitu egois, mulai bosan dengan semua keluhanmu. Aku yang terkadang begitu lelah dengan rutinitasku, yang hanya mencuri waktu untuk istirahat, juga harus terganggu dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…, aku mulai menghindarimu, tak ku jawab telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun tidak marah. Ya Allah…

Suatu hari, kamu datang ke rumah dengan wajah letih, tak ku temukan keceriaan itu lagi. Ada yang aneh pada dirimu dik, aku sangat terkejut melihatnya…

Wajahmu yang dulu penuh semangat dan selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya mampu mengobarkan semangat orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda, wajahmu begitu pucat, loyo, tanpa semangat hidup seperti dulu.

Tubuhmu dik…, Allah… ada apa dengan dirimu dik ? dulu kamu begitu gemuk menggemaskan, dengan pipi tembem yang sangat lucu hingga matamu yang sipit akan semakin kecil saat dirimu tersenyum. Dulu kami (akhwat-akwhat) di rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk… tapi kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? ini memang pertemuan pertama kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya berkomunikasi melalu telepon..

Dulu setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku selalu menjadi pendengar setiamu… tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung tanpa berkata apa-apa….

Saat ku tanya kamu dari mana ? kamu hanya menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya kebetulan lewat setelah pulang tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik, tahukah kau, betapa banyak yang ingin ku tanyakan kepadamu? tapi aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Jadi ku biarkan saja kamu dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku menatap wajahmu yang teduh dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?

Lalu kamu pun pamit, pergi tanpa sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….

Aku kembali dalam duniaku, Kuliahku, labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya Rabb, aku kembali melupakanmu dik, hingga kemudian aku menerima sebuah telepon dari temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1 minggu dia tidak masuk sekolah, kayaknya parah, kalau bisa kakak sempatkan waktu untuk menjenguknya, dia selalu menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang lain.” aku tercenung di ujung telepon, tak tahu harus berbuat apa..

Saat aku dan akhwat-akhwat lain tiba di rumahmu, segera kami ke kamarmu, kamar sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku baru kali ini ke rumahmu dik. Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak memperhatikan saudaraku yang memberiku parhatian luar biasa selama ini. Hatiku perih melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar, dadaku sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..

Aku mendekatimu, kamu berusaha tersenyum tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan sakit. Aku mencoba menahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat yang lain pun melakukan yang sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu, ku raih dan ku genggam tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai cerita lucu, kamu tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini. Di lubuk hati terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau ingin menahanku, maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih lama dalam kesakitanmu…

Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan kembali ku temukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping, kau menderita kanker kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya biaya, kamu hanya di bawa ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di keluarkan karena tak punya biaya…

Rabbana, apa gunaku selama ini, inikah ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan bagai satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam setiap majelis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang aku serukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu dik… Saat itu segera aku bertanya krpada kakakku, dan katanya aku harus mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat secara gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti kembali…

Aku kembali menjengukmu dik bersama hilda dan uphi serta beberapa akhwat lain. Aku belum berhasil menyelesaikan urusan surat miskin itu, ternyata harus dengan berbagai macam prosedur, tapi aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin memburuk. Aku memelukmu dan dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?” kamu tersenyum.. Aku terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa melihatku ? kamu tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya di kencengin yah, aku sudah tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”

Tubuhku bergetar, aku tahu wajahku pucat pasi saat itu, aku pun tak bisa membendung tumpahnya air mataku, aku menangis. Para akhwat menarikku menjauh darimu. Dalam pelukan akwat, aku tumpahkan segala rasaku, sedihku, penyesalanku, dan ketakutanku… aku takut kau tak mampu bertahan dik… sungguh aku sangat takut kehilanganmu.

Tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri, tak lama kemudian kamu siuman lagi, begitu seterusnya…

Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?

Aku mendekatkan bibirku ke telingamu, aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau tidak. Aku bisikkan kalimatullah. Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah…laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu berkata “Allah…Allah..” Rabbana inikah sakaratul maut… sesakit inikah…??? Ya Rabbal izzati… Allahummagfirlahu, Allahummarhamhu… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat subuh, yang kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan selesai hari ini, aku sangat bersemangat. 

Kamu akan segera di rawat dik. Saat baru saja aku hendak mandi, telepon berbunyi, ternyata dari ukhti Uni, mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku mau, tapi aku salah, berita yang aku terima sungguh sangat membuatku terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi wa innailaihi Rojiun”

Aku tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu ngomong apa sih ? ada apa ? ngomongnya jangan nangis gitu dong…?” kataku mencoba menenangkan diri .

“Diana ukh, dia sudah nggak ada, dia meninggal tadi malam jam 01.00, kita doakan yah.. nanti kita sama-sama melayat ke rumahnya” Rabbana… aku terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang terus memanggilku dan terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk.. menangis.. aku tumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketakpedulianku, keegoisanku…

Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku terus menangis…

Baru saja jenazahmu di bawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat mencintaimu, dia yang merawatmu selama kamu sakit. Dik, begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu.. .aku hanya bisa diam menatap iringan membawamu ke tempat pembaringanmu meninggalkan kami…

Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu, tak akan ada lagi telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan hingga kini ku rindukan dan selalu ku nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat kejutan rasa cintamu pada kami… Tak ada lagi cerita-ceritamu tentang masalah-masalahmu yang kini dan hingga kini selalu ku nantikan dan ku tahu hanya berbalas kecewa.

Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana, semoga kau dapat menahan himpitan kubur yang kita semua akan merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu, jauhkanlah dia dari adzab kubur… Bukakanlah pintu jannah-Mu, sungguh dia adalah mujahidah-Mu, dia adalah tentara yang memperjuangkan agama-Mu..

Ku tahu saat ini begitu banyak dari kami menangisi kepergianmu mujahidah, namun aku pun yakin, ribuan penduduk langit bersorak menyambut kedatanganmu dan ribuan malaikat menaungimu dalam hamparan sayapnya… dalam kedamaian di sisi Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..

“Kak, apa aku juga bisa disebut mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…

“Tentu saja dik, setiap orang yang memperjuangkan agama Allah dan mati dalam keyakinan pada-Nya adalah seorang mujahid-mujahidah.” …

“Kak, aku mau berjilbab lebar seperti kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?” …katamu tersenyum malu…

“Kau akan sangat cantik dengan busana syar’i dik, masih adakah yang lebih penting dari kecantikan di mata Allah…?”

….Kau tertawa…

“Aku mauuuuu cantiiik di mata Allah…” …Tertawa riang….

*** Untuk adikku Diana tenanglah disana, dalam perlindunganNya, tak akan ada yang mampu menyakitimu dik…” ****

Barakallahufikum ....

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...